PONTIANAK (Independensi.com) – Wacana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Republik Indonesia, Sandiaga Salauhdin Uno, untuk menerapkan konsep soal wisata religi dan wisata halal di sejumlah destinasi wisata tertentu bentuk pengkhianatan terhadap keberagamaan suku, agama, ras dan antar golongan di Indonesia.
Klaim Sandiaga Uno setelah dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Rabu, 23 Desember 2020 melalui keputusan reshuffle kabinet Presiden Indonesia, Joko Widodo, bahwa wisata religi dan wisata halal atas arahan Wakil Presiden K.H. Ma’aruf Amin, menunjukkan tidak memahami sejarahnya berdirinya Republik Indonesia.
Wisata halal sebagaimana diwacanakan tidak memiliki konsep yang jelas, sehingga cenderung melakukan penyeragaman terhadah derap langkah kebudayaan masyakarat.
Parameter wisata halal menjadi tidak jelas. Di antaranya, bagaimana kita mengklaim mampu mewujudkan konsep wisata halal, sementara saat bersamaan praktik kawin kontrak di wilayah puncak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, dimana para lelaki Arab, bisa dengan bebas mengawini perempuan Indonesia, tanpa ada ikatan administrasi negara, sampai sekarang tidak ada yang peduli.
Pertanyaan kemudian, apakah setelah wisata halal diterapkan, sebagai bentuk legalisasi praktik kawin kontrak di wilayah Puncak di Kabupaten Bogor. Akan tetapi kalau kemudian dilegalkan, akan bertentangan dengan nilai dan norma di dalam kebudayaan masyarakat universal.
Pengingkaran atas keberagaman, berarti pengingkaran terhadap ideologi Pancasila. Karena prinsip dasar dari pengamalan ideologi Pancasila, adalah menghargai keberagamanan. Ideologi Pancasila, lahir dari kebudayaan asli Indonesia.
Konsep wisata halal dan wisata religi, membuktikan Sandiago Salauhdin Uno, tidak memahami karakter kebudayaan asli Indonesia. Karena kebudayaan Indonesia berkarakter religius, dimana Kebudayaan Jawa melahirkan Agama Kejawen, Kebudayaan Batak melahirkan Agama Ugamo Malim, Kebudayaan Dayak melahirkan Agama Kaharingan, dan lain-lain.
Istilah wisata religi sudah bagian yang tidak terpisahkan di dalam kebudayaan Indonesia. Sementara istilah halal, sama sekali tidak familiar di dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Istilah halal lebih familiar di dalam Kebudayaan Arab di Benua Asia Timur Tengah yang kemudian melahirkan Agama Islam. Indonesia adalah daratan Benua Asia di sektor timur selatan. Kebudayaan masyarakat di Asia Timur Tengah dan Asia Timur Selatan, berbeda, sehingga di dalam aplikasinya tidak bisa dipaksakan dalam konsep wisata halal.
Bagi masyarakat di Indonesia, dalam konteks pengamalan ideologi Pancasila, agama sebagai sumber keyakinan iman dan kebudayaan asli bangsa Indonesia sebagai filosofi etika berperilaku, sehingga antar keduanya saling bersinergi di dalam pembangunan karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia.
Dengan mencintai dan merawat kebudaaan asli Indonesia, sebagai wujud nyata dari pengalaman ideologi Pancasila. Sehingga warga Indonesia, tidak boleh dipaksa berperilaku kearab-araban setelah memeluk Agama Islam, keyahudi-yahudian setelah memeluk agama Katolik/Kristen dan Keindia-indian setelah memeluk Agama Hindu.
Wisata halal Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Salahudin Uno, bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.
Menteri Sandiaga Salahudin Uno mewacanakan menerapkan wisata halal, bentuk pelanggaran terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016, tentang Pengakuan Aliran Kepercayaan yang dimaknai pengakuan terhadap agama asli Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia.
Karena jantung peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, termasuk di Indonesia, ada pada sistem religinya yang bersumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, di mana dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Mirisnya lagi, sebagai orang nomor satu di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, dalam konteks peningkatan industri pariwisata, wisata halal Sandiaga Salahudin Uno, bertentangan dengan Program Wonderful Indonesia Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia sejak 2011.
Karena nilai jual dari Program Wonderdul Indonesia Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, adalah orisinalitas kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Wisata halal adalah implementasi Kebudayaan Arab, bukan kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Di sektor hubungan diplomatik Indonesia dengan negara sahabat, wisata halal Sandiaga Salahudin Uno, bertentangan dengan Program Indonesia Art and Culture Scholarship Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sejak tahun 2003.
Dari aspek arah diplomasi glogal, wisata halal Sandiaga Salauhdin Uno, bertentangan dengan arah diplomasi global abad 21 titikberat berbasis kebudayaan dalam menyusun geostrategi untuk menjabarkan geopolitik sebuah negara, termasuk Republik Indonesia.
Diplomasi kebudayaan dari aspek pertahanan negara adalah mempelajari bagaimana pengelolaan sumber daya dan kekuatan nasional baik pada saat masa damai, perang, dan sesudah perang, dalam menghadapi segala bentuk ancaman dari dalam negeri maupun luar negeri.
Ancaman yang dimaksud pun sifatnya luas, tidak hanya ancaman bersifat militer, maupun bersifat nonmiliter yang mampu mengancam keutuhan wilayah, kedaulatan negara, serta keselamatan bangsa.
Gelar Nanggala W.S.P, Makarim Wibisono & Supartono (2018), mengatakan, diplomasi pertahanan kini mengalami perluasan makna, dan tidak lagi dapat disamakan dengan diplomasi militer.
Diplomasi pertahanan merupakan segala metode serta strategi yang diterapkan oleh suatu negara dengan mengerahkan segala upaya di bidang ekonomi, budaya, kerjasama politik serta kerjasama pertahanan. Melalui dimensi dimensi diplomasi pertahanan, merekatkan hubungan antar negara serta membangun kepercayaan (mutual trust) dan Confidence Building Measures (CBM).
Kemajemukan struktur sosial Bangsa Indonesia dapat membawa dampak positif serta negatif. Karena dapat memicu rawannya perpecahan apabila terjadi gangguan baik dari luar maupun dari dalam negeri. Oleh karena itu untuk menjaga keutuhan dari kemajemukan bangsa, maka diperlukan pendekatan diplomasi budaya setempat.
Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki struktur sosial masyarakat yang majemuk pun terkadang masih kesulitan dalam menjaga keutuhan bangsa meskipun telah digagas sebuah ideologi pemersatu bangsa, yaitu Pancasila.
Kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia yang beragama suku juga menjadi salah satu faktor adanya etnosentrisme sehingga antar kebudayaan tidak mudah untuk dibenturkan.
Dalam tataran ilmiah konsep geostrategi dalam mewujudkan geopolitik di Pulau Borneo, misalnya, pasca penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, tidak bisa dilepaskan dari implementasi pembangunan politik kebudayaan. Karena sebelumnya, Suryatmoko (2009), menyebut, ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan di dalam pembangunan nasional.
Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat.
Arah politik multikultural ialah ”pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui (W Kymlicka: 2000 dalam Suryatmoko: 2009).
Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo memiliki kebudayaan Suku Dayak yang bisa dijadikan panutan peradaban di wilayah Borneo untuk menjaga potensi yang tersedia dalam kesinambungan dan keselarasan kehidupan dunia, karena Borneo ditetapkan sebagai paru-paru dunia, melalui Program Heart of Borneo (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam), atas desakan dunia internasional.
Ini didasarkan sebuah pemahaman, bahwa kebudayaan nasional selalu berasal dari kebudayaan daerah yang disosialisasikan dan kemudian diterima ranah psikologis masyarakat secara regional, nasional dan internasional.
Karena Suku Dayak bagian yang tidak terpisahkan dari Bangsa Indonesia, misalnya, maka Kebudayaan Suku Dayak sebagai bagian dari kebudayaan nasional menjadi acuan dalam melaksanakan aktifitas pemerintahan dan kenegaraan di Borneo.
Politik multikultural mau memastikan terwujudnya kebijakan geopolitik dalam kehidupan publik, dengan sistem hukum yang mengikat dalam kehidupan cita-cita etika politik sehingga terwujudnya kebebasan yang bertanggungjawab serta membangun kelembagaan publik yang berkeadilan.
Kelembagaa publik yang berkeadilan, apabila inklusif. Maka ketika undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan negara tidak boleh diskriminatif. Undang-undang/peraturan yang diskriminatif memperparah jurang segregasi sosial. Oleh karena itu, dinamika desentralisasi membuka ruang untuk peluang pemerintah pusat menentukan perannya melalui diplomasi politik kebudayaan sebagai arah dan cita-cita bangsa.
Bangsa mengandaikan, pertama, acuan ke budaya inklusif termasuk sistem gagasan, etos, cara bertindak, dan komunikasi; kedua, bangsa akan kuat bila anggota-anggotanya saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status sama (E Gellner: 1983 dalam Suryatmoko: 2009). Kedua syarat ini memungkinkan terciptanya bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas anggotanya.
Undang-undang/peraturan yang diskriminatif berarti tidak mengakui kesamaan hak dan kewajiban warga negara. Karena ada beberapa aspek dari kebudayaan Suku Dayak bisa disinergikan di dalam pembangunan nasional, terutama dalam kaitan pelaksanaan teknis pelestarian ekosistem.
Empat sasaran politik multikultural, menurut Suryatmoko (2009), antara lain sebagai berikut: Pertama, membentuk habitus toleransi, keterbukaan, dan solidaritas. Pertaruhannya bukan hanya mengelola warisan budaya, seni, dan bahasa, tetapi juga masalah konservasi, pendidikan, dan kreasi.
Kedua, membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus. Dampaknya, frekuensi perjumpaan berbagai kelompok berbeda tinggi dan kategori masyarakat yang ambil bagian dalam keputusan kolektif diperluas.
Ketiga, untuk mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi. Sistem ini memerhatikan aspirasi budaya, pada gilirannya mengembangkan kapital sosial.
Kapital sosial berakar pada jejaring asosiasi dan civisme, yang merupakan tanah subur bagi kesadaran akan makna tanggung jawab kolektif (J Subirats, 2008:61 dalam Suryatmoko: 2009). Kapital sosial, faktor kohesi sosial berkat hubungan kepercayaan, membuat politik lebih peduli solidaritas dan kesejahteraan bersama.
Keempat, penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik. Dari fisik-sosial, perlu dikembangkan bentuk baru permukiman, tata kota, atau perencanaan teritorial agar menghindari segregasi sosial atas dasar etnik atau agama (TBennett, 2008:23 dalam Suryatmoko: 2009).
Dari budaya, pemerintah harus menjamin dimensi multikultural dalam ekspresi di ruang publik, seperti seni, teater, musik, film, sastra, dan olahraga. Maka, pemerintah wajib mendorong pengelola media massa agar peduli pada dimensi multikultural dengan insentif subsidi atau keringanan pajak.
Suryatmoko (2009), mengatakan, dari politik, kebijakan publik perlu memasukkan program representasi minoritas dalam politik, pendidikan, dan lapangan kerja. (Aju).
Pontianak, 1 Januari 2021
Penulis, adalah Wartawan, Sekretariat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) dan Dayak International Organization (DIO).
Wisata halal, itu akal2 an Makruf Amien, kerjanya sejak dulu cuma halal, syariah, waktu Ketum MUI,jualan fatwa