Vaksin Covid-19

Diungkap Negara Penduduk Mayoritas Muslim Tidak Temukan Vaksin Covid-19

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Peneliti dan pendiri Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny Januari Aly, Ph.D, Senin, 15 Februari 2021, mengemukakan factor penyebab negara dengan penduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia, para penelitinya tidak berhasil menemukan vaksin anti penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19).

Sesuatu telah terjadi pada berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Untuk kasus Covid-19, dua data dunia ini dapat menjadi renungan.

Pertama adalah list negara yang paling banyak terpapar virus corona. Worldometer menyediakan data itu.

Menurut Denny JA, hingga esai ini ditulis, 15 Febuari 2021, dalam rangking 50 negara yang paling banyak terpapar virus corona, terdapat banyak negara yang mayoriitasnya Muslim.

Yaitu Turki (rangking 9), Iran (15), Indonesia (19), Irak (28), Pakistan (30), Bangladesh (33), Maroko (34), Saudi Arabia (39), Jordania (41), Lebanon (42), dan Malaysia (49).

Dalam rangking 50 negara paling banyak terpapar virus corona, terdapat 11 negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Kini kita lihat data kedua. Ini list vaksin covid 19 dan asal negara yang diotorisasi oleh WHO.

Terdapat 10 vaksin yang sudah diotorisasi (vassice otorized for emergency use or approved for full used).

Sepuluh vaksin covid 19 itu dan asal negaranya sebagai berikut. BBIBP-Corv (Cina), Sputnik V (Rusia), Pfizer (USA, Germany), Moderna (USA), Oxford-Aztrazenaca (United Kingdom), Coronavac (Cina), Ad5-Ncov (Cina), EpiVac Corona (Rusia), BBV152 (India), Ad26. Cov2.S (Netherland, United States).

Tiga vaksin berasal dari Cina. Dua vaksin dari Rusia. Dua vaksin dari Amerika Serikat. Lalu Jerman, United Kingdom, India, dan Netherland masing masing menyumbang satu vaksin.

Muncul pertanyaan. Mengapa tak satupun negara mayoritas Muslim menyumbangkan penemuan vaksin 19 yang sudah diotorisasi oleh WHO?

“Dilihat asal negara, dan agama populasinya, negara yang mayoritas Kristen, Hindu, bahkan tak beragama, berhasil menyediakan vaksin untuk covid 19,” ungkap Denny JA.

Bukankah banyak negara yang mayoritas Muslim ikut terpapar Virus Corona? Bukankah menyediakan vaksin itu bagian dari menolong kemanusiaan yang merupakan inti ajaran agama, termasuk agama Islam?

Data itu menjadi pengantar untuk masuk pada tema yang lebih besar. Tak adanya vaksin covid 19 yang sudah diotorisasi berasal dari negara mayoritas Muslim pastilah bukan tak ada niat baik.

Ini yang terjadi. Lebih dari 50 negara yang mayoritasnya Muslim tak punya kemampuan ilmiah sebaiknya negara non- Muslim. Ini fakta. Ini data. Ini realitas.

Menurut Denny JA, ketidak mampuan ilmiah negara Muslim itu tak ada hubungan dengan doktrin agama. Apalagi ada banyak pula tafsir dalam satu agama.

Kawasan Muslim, dengan kitab suci dan Nabi yang sama, pernah paling menonjol dalam ilmu pengetahuan, dibandingkan kawasan lain, yang non-Muslim.

Itu di era golden age of Islam, tahun 786-1258. Aneka jenis ilmu pengetahuan tumbuh paling pesat justru di kawasan Muslim, dibawah.

the Umayyads of Córdoba, the Abbadids of Seville, the Samanids, the Ziyarids, the Buyids in Persia, the Abbasid Caliphate.

Ilmu berkembang di kawasan Muslim mulai dari astronomi, matematik, medicine, kimia, botani, agronomi, geography hingga zoologi.

Menurut Denny JA, dua kesimpulan dapat ditarik dari data itu.

Pertama, telah terjadi kemerosotan peradaban ilmu di kawasan Muslim sejak 1258- 2021. Selama kurang lebih 763 tahun, kawasan Muslim semakin redup, sementara kawasan non- Muslim justru semakin bersinar.

Kedua, perkembangan ilmu, setidaknya soal vaksin di atas, tak ada hubungan dengan agama.

“Apapun agamanya, bahkan negara yang mayoritasnya tak beragama sekalipun, bisa mundur atau maju dalam ilmu pengetahuan, tergantung bukan pada kitab suci yang diyakini. Tapi itu tergantung dari kegiatan di labolatoriumnya,” ujar Denny JA.

Bukan kitab suci tapi labolatorium, universitas, komunitas ilmiah, komitmen pemerintah dan pengusaha untuk menyediakan dana riset. Itulah kunci kemajuan ilmu pengetahuan.

Mengapa bahkan negara yang mayoritasnya tak percaya agama seperti Cina lebih menyumbangkan vaksin covid-19?

“Itu karena instink survival sudah tertanam dalam gen, DNA, homo sapiens sejak 300 ribu tahun lalu. Sementara agama yang kini dominan baru lahir paling lama 3000 tahun lalu,” ungkap Denny JA.

Baru satu persen dari usia homo sapiens (3000 tahun dari 300.000 tahun) yang dihadiri oleh agama yang kini dominan. Selama 99 persen sejarah homo sapiens, mereka bisa survive, bekerja sama, membuat kemajuan, mengerjakan kebaikan, dengan caranya sendiri.

Adalah instink itu yang bekerja, walaupun mereka tak beragama seperti agama yang dominan sekarang.

Jika sebuah negara ingin maju dalam ilmu pengetahuan, ini rekomendasinya. Bukan penuhi ruang publik dengan jargon agama, tapi majukan universitas, komunitas ilmu dan labolatorium.

“Saatnya negara yang mayoritasnya Muslim kembali hijrah. Kembali ikut menjadi mercu suar kemajuan ilmu. Bukankah kini ilmu pengetahuan yang menjadi fondasi peradaban modern? Kasus vaksin covid-19 dapat menjadi pemicu,” kata Denny JA.(aju)