Hari Pahlawan, GMNI Jaksel : Kedaulatan Itu Penting!

Loading

JAKARTA (Independensi)- Dewan Pimpinan Cabang GMNI Jakarta Selatan (Jaksel) menyelenggarakan diskusi dalam rangka memperingati Hari Pahlawan pada 10 November 2022

Erdison, Sekretaris Cabang GMNI Jaksel mengungkapkan, dalam diskusi itu dibahas bahwa peristiwa sejarah 10 November 1945 adalah perperangan terbesar dan terberat yang di alami oleh Pemerintahan Negara Republik Indonesia ketika harus melawan tentara Inggris yang dibonceng Belanda.

“Kenapa terbesar? Pertempuran tersebut telah banyak menelan korban, hingga mencapai 20.000 masyarakat Surabaya baik itu dari kalangan masyarakat sipil, kaum santri, tentara, serta para pemuda dan kaum pejuang lainnya. Hal itu disebabkan, sejak di Proklamirkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Maklumat pada 31 Agustus 1945 yang berisi menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 Bendera Nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia,” papar Erdison.

Kemudian, dipertengahan September 1945 tentara Inggris mendarat di Jakarta lalu pindah ke Surabaya sambil diboncengi oleh tentara Belanda. Tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Aliend Forces Netherlandas Indies) melakukan pengibaran bendera Belanda di atas gedung hotel Yamato yang sekarang menjadi Hotel Majapahit dan berlokasi di JL.Tunjungan No.65 Surabaya.

Hal tersebut menimbulkan kencaman dari masyarakat surabaya, sehingga Jendral Sudirman selaku Wakil Residen Daerah Surabaya pada tanggal 27 Oktober 1945 datang menemui Mr.Ploegman untuk melakukan diplomasi agar Bendera Belanda segara diturunkan.

“Namun Hal tersebut mengakibatkan perlawan dari Mr.Ploegman, ia menolak untuk menurunkan Bendera Belanda dan tidak mengakui Kedaulatan Negara Republik Indonesia, sehingga  mr.Plogeman melakukan aksi tembakan-tembakan dan kemudian ia juga mati yang diakibatkan tercekik oleh Sidik dan beberapa massa yang siap menunggu masuk di depan hotel Yamato,” papar Erdison.

Gerakan massa Pemuda berhasil mendobrak pintu lobi hotel dan naik ke atas gedung untuk merobek bendera Belanda yang warna biru sambil diiringi dengan teriakan pekik Merdeka. Insiden tersebut menjadi titik awal dari meletusnya peristiwa 10 November 1945,

Pada Tanggal 29 Oktober Presiden Sukarno mengeluarkan kesepakatan dengan Pemerintahan Inggris untuk menandatangi Gencatan Senjata. Lalu 30 Oktober 1945 Inggris mulai melancarkan serangan-serangan kecil terhadap masyarakat surabaya, dan menyebabkan Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris, tewas tertembak hingga mobil yang ditumpanginya meledak.

“Kemudian Mayor Jenderal Robert Mansergh, sebagai pengganti Jendral Mallaby, mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor serta meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan. Tak hanya itu, mereka pun meminta orang Indonesia menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas dengan batas ultimatum pada pukul 06.00, 10 November 1945,” ujar Erdison.

Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah. Ultimatum itu adalah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat melawan kolonialisme, hingga terjadi pertempuran 10 November 1945  yang banyak menelan jiwa masyarakat Surabaya. Perang antar kedua kubu berlangsung sekitar tiga minggu.

Tokoh perjuangan yang menggerakkan rakyat Surabaya antara lain Soemarsono, Bung Tomo, K.H. Hasyim Asyari, dan Wahab Hasbullah.

“Itu adalah sebuah rangkaian singkat mengenai pristiwa 10 November yang kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno melalu Keppres Tahun 1959 sebagai Hari-Hari Nasional. Terlepas dari beberapa perspektif yang tidak dapat disampaikan secara komprehesif, namun yang paling penting adalah kita tidak mengesampingan makna daripada momentum Hari Pahlawan Nasional,” ujar Erdison.

Ada beberapa poin yang dapat dipetik dari Peristiwa sejarah 10 November, yakni Pertama, Kedaulatan itu sangat penting. Ia sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang harus dipertahakankan.

Kedua, Metode Perjuangan pemuda pada masa itu jika dibandingan dengan sekarang tentu sangat jauh berberbeda, namun musuhnya tetap sama, yakni Kolonialisme, Kapitalisme dan Feodalisme.

“Era sekarang musuh kita sudah berganti baju dan berganti perkakas. Dan inilah yang paling penting kita sebagai Pemuda terkhusus kader Marhaenis yang mengamini nilai-nilai ajaran Bung Karno untuk setia pada azas-azas perjuangan Marhaenisme yang kemudian menjadi alat perjuangan bersama untuk mencapai sosialisme Indonesia,” tegas Erdison.

Lalu ketiga, sambung Erdison, adalah membangun Kesadaran Kebangsan yang mesti dibangun di atas pundak kaum pemuda-pemuda sekarang.