IndependensI.com – UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota digugat oleh beberapa orang, antara lain : A. Muqowam/ Anggota DPDRI Dapil Jateng, M. Mawardi/ Anggota DPDRI Dapil Kaltebg, Abdurrahman Lahabato/ Anggota DPDRI Dapil Malut, M. Syukur/Anggota DPD RI Dapil Jambi, Intsiawati Ayyus/ Anggota DPDRI Dapil Riau, A. Kanedi/ Anggota DPDRI Dapil Bengkulu, dan Taufik Nugroho/ Anggota DPRD Barito Utara. Demikian siaran pers yang diterima redaksi IndependensI.com di Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Para pemohon mendasarkan diri / legal standing pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang berbunyi: Pemohon adalah Pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan WNI: b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dengan undang-undang; c. Badan hukum publik atau Privat; atau e. Lembaga Negara.
Selanjutnya kami jelaskan bahwa para Pemohon I s/d VI kebetulan anggota DPDRI meras dirugikan hak konstitusionalnya atas jaminan dan perlindungan hukum yang adil, hak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) hurus s UU 10/ 2016 berdasarkan penalaran yang wajar.
Selain menjelaskan materi gugatan sesuai dengan pedoman baku dan substansi dari perundangan, kami pemohon menjelaskan hal yang berkaitan dengan Lembaga Politik, Lembaga Legislatif, Lembaga Eksekutif, Jabatan Publik, Jabatan Politik, dan Jabatan Karir.
Lembaga politik adalah terkait dengan pengelolaan negara dan berurusan dengan kebijakan publik.
Secara teoritik dikenal Jabatan Publik Politik dan Jabatan Publik Eksekutif. Jabatan Publik Politik, adalah jabatan publik yang ditetapka melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat (election) mulai dari DPRD Kabupaten/ Kota, Bupati/ Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota, DPRD Propinsi, Gubernur/ Wakil Gubernur, DPD RI, dan DPR RI.
Sedangkan Jabatan publik eksekutif antara lain ditetapkan melalui Pengangkatan (appointee) meliputi dikategorikan ASN, Kepolisian Negara dan TNI.
Oleh karena itu, para Pemohon memohon pada MK agar mampu memberikan putusan sesuai jiwa konstitusi (soul of constitution) yang secara political science benar dan dapat dipertanggung jawabkan Dalam bingkai negara hukum.
Biarlah ruang jabatan publik politik itu menjadi ruang gerak dan ruang pengabdian politisi, dan tentu tidak akan mengganggu ruang gerak yang dimiliki oleh pejabat dari jabatan publik eksekutif, dalam hal ini antara lain ASN, Polisi dan Tentara/ TNI.
Posisioning dan ruangnya memang berbeda, tetapi ini atas nama kesetaraan (equality before the law) sebagai suatu kebenaran.
Oleh karena itu, mengingat jabatan publik politik adalah menjadi ruang publik politisi, seharusnya sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum tidak ada halangan, apalagi mundur misalnya.
Sebaliknya jika politisi mau jadi Polisi, Tentara atau ASN maka harus mundur dari jabatan publik politik.
Ketentuan UU 10/2016 menentukan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPD harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Ketentuan ini bersifat diskriminatif karena memperlakuan berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berkapasitas sebagai pejabat publik politik dengan Kepala Daerah (incumbent) yang juga berkapasitas sebagai pejabat publik politik karena sama sama dipilih dalam pemilihan (election).
Bagi Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya tidak wajib mundur. Sedangkan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya, harus mengundurkan diri. Disinilah letak diskriminasi tersebut. Dalam kapasitas yang sama diperlakukan berbeda.
Oleh karena itu, pemohon memohon agar ketentuan anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai anggota DPR, DPD, dan DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah apabila mencalonkan diri di luar daerah pemilihannya.