KKP Bangun Laboratorium Kesehatan Ikan Rujukan WTO

Loading

DENPASAR (IndependensI.com) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan 2 (dua) kandidat laboratorium acuan Organization for Animal Health (OIE) bidang kesehatan ikan sebagai acuan internasional.

Kedua laboratorium tersebut yakni, Laboratorium Kesehatan Ikan pada Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai laboratorium acuan OIE untuk deteksi penyakit Koi Hervest Virus (KHV), dan Laboratorium Kesehatan Ikan pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo untuk rujukan penyakit udang.

Badan Kesehatan Hewan Dunia / OIE (The World Organization for Animal Health) memfasilitasi ke dua laboratorium tersebut melalui Twinning Program. Untuk uji KHV, BPBAT Sukabumi bekerjasama dengan National Research Institute of Aquaculture Fisheries Research Agency (MIE-Jepang) sebagai parent laboratory.

Sedangkan untuk penyakit udang BPBAP Situbondo bekerjasama dengan Laboratorium akuakultur Universitas Arizona, Amerika Serikat sebagai Parent Laboratory. OIE adalah organisasi dunia yang mengurusi kesehatan hewan dunia, baik hewan akuatik ataupun teresterial/daratan, yang beranggotakan 181 negara dengan kantor pusat di Paris.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam keterangannya tertulisnya di Bali mengatakan bahwa dukungan OIE terhadap Indonesia dalam memfasilitasi pengembangan laboratorium kesehatan ikan berskala Internasional memberikan dampak yang sangat penting, utamanya dalam meningkatkan kemampuan diteksi penyakit ikan.

“Dukungan OIE untuk Indonesia dalam memfasilitasi 2 Laboratorium milik KKP sebagai acuan internasional akan memberikan dampak yang sangat positif bagi peningkatan daya saing produk perikanan budidaya khususnya ikan hias koi dan udang di pasar global. OIE tentunya telah mempertimbangkan bahwa sebagai negara produsen perikanan budidaya terbesar ke dua dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan pangan global di masa yang akan datang”, ungkap Slamet dalam sambutan tertulisnya pada pembukaan workshop “The OIE Twinning Laboratory”, di Bali, Sabtu (26/8/2017), yang dihadiri oleh beberapa negara yaitu Jepang, Thailand dan Korea.

Saat ini kedua Laboratorium di BBPBAT Sukabumi dan BPBAP Situbondo terus melakukan koordinasi, serta meningkatkan upaya-upaya untuk memenuhi persyaratan sebagai laboratorium acuan OIE yang ada yaitu prosedur teknis, peralatan serta sumber daya manusia. Diharapkan pada tahun 2018 kedua laboratorium tersebut dapat lulus sebagai laboratorium acuan OIE.

Ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik Indonesia jika kedua laboratorium ini menjadi acuan OIE, yaitu: Pertama, laboratorium akan terstandar secara internasional, sehingga tingkat presisi pengujian sangat tinggi. Kedua, keberadaan laboratorium dapat mengurangi resiko penyebaran penyakit di lintas batas ke negara lain (transboundary fish desease).

Ketiga, keberadaannya akan dapat memfasilitasi akses perdagangan internasional, misalnya Indonesia dapat mengeluarkan sertifikat bebas KHV dan penyakit udang yang terdaftar di OIE dalam perdagangan koi dan udang dunia. Keempat, negara-negara Asia Pacifik dapat juga mengambil keuntungan dengan melakukan pengujian ke laboratorium acuan di Indonesia yang lebih dekat.

Ia mengungkapkan bahwa isu penyakit dalam bisnis akuakultur telah secara nyata mengakibatkan trade barrier dalam siklus perdagangan perikanan global saat ini, oleh karenanya setiap negara mulai memperketat persyaratan teknis terhadap lalu lintas seluruh produk perikanan budidaya. Upaya tersebut antara lain melalui penerapan risk analysis importasi secara ketat ketat.

Dirinya mencontohkan, fenomena merebaknya penyakit KHV pada ikan mas termasuk ikan hias koi di berbagai negara di dunia, telah secara nyata menurunkan transaksi bisnis perdagangan koi di dunia termasuk Indonesia. Oleh karenanya, saat ini perdagangan Ikan koi di dunia memerlukan persyaratan bebas penyakit KHV yang dibuktikan dengan sertifikat bebas KHV dari Laboratorium Acuan OIE untuk penyakit ikan, dimana persyaratan ini diperoleh secara terbatas, karena saat ini baru ada 2 laboratorium acuan OIE untuk penyakit KHV yang diakui dunia yakni di Jepang dan Inggris.

Demikian pula halnya dengan komoditas udang, pasar udang dunia mensyaratkan adanya bukti legal hasil uji bebas penyakit dari laboratorium acuan yang ditunjuk oleh OIE. Padahal menurut Slamet, saat ini laboratorium acuan OIE untuk penyakit udang hanya tersedia di luar negeri seperti Amerika Serikat, dan ini cukup memberatkan pelaku usaha dalam negeri.

“Saya optimis ke-dua laboratorium yang kita rekomendasikan akan lulus dalam Twinning Program ini, sehingga akan menjadi laboratorium pertama di Indonesia yang diakui Badan Kesehatan Hewan Dunia dan berskala internasional, bahkan menjadi yang pertama di ASEAN untuk acuan penyakit KHV dan udang. Nantinya hasil uji dari Laboratorium ini akan menjadi acuan bagi keberterimaan produk perikanan budidaya Indonesia, karena hasilnya diakui oleh Badan Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO)”, imbuh Slamet.

Slamet juga menyampaikan beberapa program kegiatan yang telah dilakukan oleh KKP untuk penanganan KHV yaitu melakukan perekayasaan vaksin KHV, produksi vaksin KHV, sosialisasi penanganan KHV serta penerapan biosecurity pada tahapan perikanan budidaya.

Dalam kesempatan yang sama, Hirofumi Kugita, Representatif OIE untuk Asia-Pasifik yang turut hadir dalam workshop “The OIE Twinning Laboratory Project, di Bali, mengatakan bahwa OIE sangat mendukung munculnya laboratorium kesehatan ikan berskala internasional di Indonesia. Menurutnya, twinning program ini sudah sangat tepat dan diharapkan akan berjalan dengan semestinya, mengingat Indonesia saat ini sangat diperhitungkan dalam perdagangan perikanan di dunia.

“Indonesia sudah sepatutnya memiliki laboratorium rujukan yang diakui WTO, dan saya kira semua negara di dunia sangat berkepentingan dengan Indonesia, utamanya peran Indonesia ke depan sebagai pemasok kebutuhan ikan bagi masyarakat global. Untuk itu penting bagaimana menjamin sustainability tetap terjaga melalui deteksi dini”, ungkap Hirofumi disela sela menghadiri workshop.

Sementara itu tahun 2016 volume produksi ikan hias koi nasional tercatat sebanyak 404.329.000 ekor. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring upaya pemerintah yang terus mendorong penguatan daya saing usaha budidaya ikan hias nasional. (eff)