Ada Apa Di Balik Ke-Setia-an?

Loading

IndependensI.com – Partai Golongan Karya (Partai Golkar) adalah asset nasional yang telah turut berkiprah dalam mengisi kemerdekaan serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 serta menjamin dan melaksanakan ke-Bhinneka Tunggal-Ikaan.

Sangat memprihatinkan apa yang menimpa partai beringin ini, sebagai akibat terjerat hukum Ketua Umumnya ditambah sikap elit partai menanggapi dan menyikapi keterlibatan Ketumnya dalam kasus e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Pengalaman partai lain sebenarnya bisa dijadikan pelajaran menyikapi kasus korupsi yang menimpa Ketua Umumnya seperti Partai Demokrat dengan Anas Urbaningrum dalam kasus Proyek Pembangunan Pusat Olahraga Nasional Hambalang serta Ketua Umum Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) Luthfti Hasan Ishaaq dalam kasus import daging sapi.

Kedua partai tersebut melokalisir kasus korupsi Ketumnya tidak ada kaitan dengan partai, dan dengan legowo menyerahkan sepenuhnya para proses hukum dan mengambil alih kewenangan Ketua Umum dari seorang Tersangka di balik jeruji besi.

Sebab mustahil hak dan kewajiban suatu partai bisa dikendalikan dari Rumah Tahanan (Rutan) walaupun telah ada Ketua Harian serta menunjuk sendiri Pelaksana (Plt) Ketua Umum sebagai kehendak pribadi seorang Ketum dari Rutan.

Hal yang sama juga amat ditujukan publik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili kurang lebih 260 juta rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar 559 anggota, mau dan tunduk pada keputusan seseorang Ketua dari balik jeruji besi Tahanan KPK dari Jln. Kuningan Persada Jakarta Selatan.

Secara formal legal semua yang terjadi dapat saja dianggap sah-sah saja, tetapi untuk kepentingan nusa dan bangsa, etika dan moral apakah layak dan wajar yang kita alami dan saksikan sekarang ini?

Lalu pertanyaan muncul, ada apa di balik ke-setia-an elit Partai Golkar mendiamkan konstituennya tercerai berai dalam perasaan yang terombang-ambing setiap saat menyaksikan Ketumnya mengenakan rompi oranye dengan segala kesaksian yang mencengangkan dari sidang Pengadilan Tipikor dalam kasus e-KTP?

Ada apa pula di balik ke-setia-an para anggota dan kelengkapan DPR mempertahankan status Ketuanya yang sedang sibuk mempertanggungjawabkan kewajiban hukumnya sebagai tersangka kasus e-KTP? Terlepas dari salah atau tidaknya Setya Novanto dengan berpegang pada azas praduga tak bersalah (presumption of onnocence), tetapi dari imaje partai dan marwah Dewan sudah sangat di luar akal sehat mempertahankan seorang terdakwa sebagai Ketua dan Ketum.

Kejayaan Golkar di era Orde Baru organisasi sosial politik (sebelum partai) sering memperoleh 71-73 % suara pemilih, sudah mengakar dan berakar di masyarakat, tetapi harus diingat bahwa tokoh Golkar juga sudah menyebar dan mendirikan partai-partai seperti Nasdem dan Hanura.

Elit Golkar seyogyanya berpikir bagaimana mempertahankan konstituen dan buka berkutat mempertahankan seorang yang tidak walaupun belum diputus pengadilan, namun sudah perhatian publik.

Elit partai juga harus cerdas membaca pra-sangka masyarakat yang berkembang bahwa ada ketakutan tentang keterlibatan elit partai dan partai sebagai turut menikmati manfaat kucuran dana e-KTP sehingga bermanuver menyelamatkan tokohnya. Walau di sisi lain ada yang berupaya menghadapi badai walau tidak mudah memulihkannya, namun harus melakukan sesuatu menyelamatkan partai. Siapa menang, akal sehat kadang-kadang tidak nyambung.

Hanya Golkar yang memiliki disiplin PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tak tercela), tetapi setelah menjadi partai sudah terjadi berbagai pergeseran nilai, kalau dulu pemimpin Golkar harus screening, beberapa periode dipimpin purnawirawan TNI, kemudian oleh politisi dan belakangan jatuh ke tangan pengusaha. Dalam pergeseran itu ada baiknya Golkar itu mereformasi dirinya dalam menjalankan visi dan misi karya dan kekaryaan-nya.

Tudingan yang sama juga ditujukan kepada DPR, apa ada ketakutan dengan keterlibatan Setia Novanto dalam kasus e-KTP? Walaupun kepemimpinan DPR bersifat kolektif kolegial, tetapi kok mau suatu lembaga tinggi negara dan para anggota Dewan yang Terhormat dipimpin dari balik kerangkeng Rutan? Seharusnya para anggota dewan dan partai-partai harus berani menegakkan etika dan moral, sebab kasus yang menimpa Ketua DPR itu adalah korupsi suatu tindakan yang merongrong negara, bukan karena melawan penjajah.

Nasi sudah jadi bubur, tetapi tidak ada jalan untuk mundur, maka pembenahan dan penyehatan harus dilakukan, betapapun risikonya risiko. Partai Golkar adalah asset nasional dan DPR adalah lembaga tinggi negara. (Editorial/Bch)