Dipersoalkan Pemecatan Oesman Sapta dari Hanura

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Perjuangan (TPDI), Petrus Selestinus, menilai, pemecatan H Oesman Sapta dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Hatinurani Rakyat (Hanura), berdasarkan rapat pleno pengurus, hanya didasarkan mosi tidak percaya 27 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan 400 pengurus kabupaten/dan kota, di Jakarta, Senin, 15 Januari 2018, tidak sah.

“Pergantian jabatan Oesman Sapta melalui rapat-rapat di luar forum rapat Partai Hanura dan mengangkat Pelaksana Tugas Ketua Umum Marsda. Daryatmo, jelas menyalahi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai Konstitusi Partai Hanura,” kata Petrus Selestinus, Senin malam (15/1/2018).

Menurut Petrus Selestinus, pasalnya ketentuan pasal 15 ART Partai Hanura dengan jelas menyatakan: “Kekosongan jabatan sebelum habis masa jabatan terjadi karena pengurus yang bersangkutan meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri, diberhentikan.

Dikatakan Petrus Selestinus, kenyataannya Dr. Oesman Sapta tidak berada dalam kondisi seperti dimaksud dalam pasal 15 ART Partai Hanura. Faktanya Dr. Oesman Sapta dalam jabatan sebagai Ketua Umum Partai maupun sebagai pribadi berada dalam keadaan sehat, tidak berhalangan tetap, tidak diberhentikan, tidak terkena tindak pidana dan tidak melanggar AD/ART.

Pasal 16 ART, menyebutkan, pemberhentian dan pengisian kekosongan jabatan Ketua Umum, hanya dapat dilakukan melalui Munas dan/atau Munaslub; dalam hal keadaan khusus harus melalui Rapat Pimpinan Partai tingkat pusat dan mendapat keputusan Dewan Pembina.

Dengan demikian pemberhentian Ketua Umum Partai Hanura oleh sejumah kader Partai Hanura mengatasnamakan Keputusan Rapat di luar Forum Rapat Partai Hanura yang sah yaitu Munas atau Munaslub, harus dianggap tidak pernah ada, tidak sah, batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Ketua Umum DPP. Partai Hanura Dr. Oesman Sapta, menurut Petrus Selestinus, hingga saat ini tetap konsisten melaksanakan tugas dan fungsinya selaku Ketua Umum yang sah memimpin DPP. Partai Hanura, selaku penanggungjawab keseluruhan struktur organisasi dengan berbagai kewenangan yang dimiliki.

Antara lain, mengambil kebijakan, keputusan yang bersifat strategis dalam kondisi tertentu untuk penyelamatan Partai dalam mengikuti pemilu legislatif maupun Pilpres.

Dengan kewenangan yang strategis sebagaimana diamanatkan dalam AD/ART Partai, maka demi kepentingan Partai Hanura mengikuti Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019, langkah mereposisi, revitalisasi dan merefungsionalisasi DPP. Partai Hanura merupakan sebuah keniscayaan.

Karena itu, menurut Petrus Selestinus, tindakan sekelompok Kader Partai Hanura mengangkat PLT Ketua Umum DPP. Partai Hanura Mayjen. Daryatmo jelas menyalahi AD/ART Partai Hanura.

Selain karena Ketua Umum DPP. Partai Hanura Dr. Oesman Sapta tetap menjalankan fungsinya sebagai Ketua Umum DPP. Partai Hanura dan mewakili Partai Hanura ke dalam dan ke luar, juga Dr. Oesman Sapta tidak berada dalam posisi berhalangan tetap, tidak mengundurkan diri, tidak meninggal dunia dan tidak diberhentikan melalui Forum Munas atau Munaslub (pasal 16 ART Partai Hanura) dan tidak melanggar AD & ART.

Tindakan sekelompok Kader Partai yang mengatasnamakan DPP Partai Hanura tanpa mandat yang bersumber dari Keputusan Forum Rapat DPP Partai Hanura dan terlebih-lebih tidak berasal dari Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai, melakukan pergantian pengurus DPP Partai Hanura, harus dipandang sebagai langkah inkonstitusional yang bertujuan untuk menggagalkan keikutsertaan Partai Hanura dalam pemilu legislatif dan Pilpres 2019.

Oleh karena itu Kementerian Hukum dan HAM RI diminta untuk tidak memproses permohonan pergantian kepengurusan DPP. Partai Hanura, atas nama Ketua PLT Ketua Umum Marsda. Daryatmo dan Sekjen Sarifudding Suding, karena Kepengurisan mereka merupakan produk yang inkonstitusional.(Aju)