MUI Inginkan Diskriminasi Terhadap Penghayat Kepercayaan?

Loading

IndependensI.com – Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jaminann hak konstitusi bagi penghayat kepercayaan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) menimbulkan ketidakpuasan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menilai keputusan MK ini kurang cermat dan telah melukai umat Islam Indonesia.

Dalam pandangan MUI, agama dan kepercayaan itu tidak memiliki kedudukan yang sama sehingga konsekuensinya pennghayat kepercayaan dipandang memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan penganut agama resmi. Keberadaan sebuah agama harus memenuhi persaratan antara lain kelompok keyakinan memiliki ajaran yang berbeda dengan yang lain, memiliki sistem peribadatan yang berbeda, memiliki umat dalam jumlah minimum tertentu, serta memiliki organisasi yang mewakili mereka berkegiatan.

Sehingga dalam praktiknya sebuah agama didefiniskan harus memiliki tuhan yang disembah, memiliki kitab suci sebagai pegangan ajaran, memiliki nabi, memiliki pengikut, memiliki nilai-nilai ajaran yang tidak bertentangan dengan UUD 45 dan Pancasila, memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia dan tidak meniru kitab, tuhan, nilai agama yang ada di Indonesia.

Hal inilah yang menjadi latar belakang MUI menolak persamaan kedudukan antara penganut agama dan kepercayaan. Maka dalam pandangan MUI putusan MK harus ditindaklanjuti dengan penyediaan e-KTP atau KTP elektronik khusus bagai kaum penghayat kepercayaan. “MUI ingin KTP elektronik untuk penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam rangka melaksanakan Putusan MK secara arif dan bijaksana,” kata Ketua bidang Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Basri Bermanda.

MUI tampak tidak mau legawa menyikapi keputusan MK yang memberikan jaminan konstitusional bagi setiap Warga Negara Indonesia (WNI) dalam administrasi kependudukan. Pembuatan KTP elektronik secara khusus buat penghayat kepercayaan akan mengarah pada tindakan diskriminasi warga negara. Kenapa MUI begitu khawatir dengan putusan MK dengan cara meminta pembuatan KTP elektronik khusus bagai penghayat kepercayaan?

Dalam putusan MK disebutkan status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Dengan demikian, warga negara penghayat kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri wajib membuat ketentuan teknis dalam pencantuman status penghayat kepercayaan di e-KTP. Kemendagri wajib menerbitkan ketentuan pencantuman status penghayat kepercayaan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam pemenuhan hak sipil setiap warga negara. Negara harus melayani semua pencatatan sipil bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi.

Pembedaan kartu identitas penduduk yang dikehendaki MUI justru akan menimbulkan diskriminasi warga negara, misalnya dalam hal pencatatan perkawinan. KTP elektronik khusus bagi penghayat bisa menciptakan diskriminasi dan masalah baru karena penganut agama dan kepercayaan tidak diberlakukan sama dan sejajar. Hal ini tampaknya untuk mengganjal kaum penghayat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena dalam UU ini disebutkan bahwa perkawinan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum agama masing-masing.

MUI Sebut Putusan MK Melukai Perasaan Umat Islam

Jika status penghayat kepercayaan dalam e-KTP tidak diartikan sama atau setara dengan agama, maka tidak menutup kemungkinan aparatur pemerintah akan menolak pencatatan perkawinan warga penghayat kepercayaan. Konsekuensinya, jika sikap MUI ini diikuti maka aparatur negara tidak mau mencatat perkawinan kaum penghayat dalam catatan sipil sehingga perkawinan tidak diakui oleh negara.

Tampaknya MUI ingin menggunakan peribahasa “diculke sirahe nanging tetep digondeli buntute” atau dilepas kepalanya tapi dipegang ekornya. Apakah sikap ini perwujudan nyata ajaran rahmatan lil alamin seperti yang ditafsirkan MUI ? Wallahu Alam Bishowab. (Sigit Wibowo)