INSA: Penegakan Hukum di Laut Belum Tersentuh Omnibus Law

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran termasuk salah satu UU yang direvisi Pemerintah melalui pengesahan Rancangan Undang￾Undang tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Di dalam RUU Cipta Kerja yang sudah diketok oleh DPR RI dan ditandatangani menjadi UU No.11 tahun 2020 tersebut, setidaknya terdapat 60 lebih pasal UU Pelayaran tahun 2008 yang direvisi. Pasal- pasal tersebut, ada yang diubah, ditambah dan sebagian ada yang dihapus.

Indonesian National Shipowners Association (INSA) pun angkat bicara tentang hasil revisi UU Pelayarantersebut melalui UU Omnibus Law.

“Meskipun belum gembira dengan hasil revisi, akan tetapi INSA tetap mengapresiasi. “Kami mengapresiasi karena beberapa pasal di dalam UU Pelayaran telah direvisi menjadi lebih pro terhadap investasi dan pengembangan usaha angkutanlaut dalam negeri, misalnya tentangsanksi,”  kata Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association Sugiman Layanto di Jakarta, Kamis (12/11)

Meskipun demikian, katanya, ada beberapa pasal yang juga berpotensi merugikan industri
pelayaran nasional, salah satunyaadalah adanya pasal yang mengakomodasi keberadaan perusahaan asing, kapal berbendera asing dan awak kapal asing untuk beroperasi di perairandalam negeri.

Di dalam RUU Cipta Kerja, kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang
dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belumtersedia. “Kami kurang gembira dengan pasal ini,” katanya.

Sufiman menjelaskan secara umum UU Omibus Law belum menjawab permasalahan yang dihadapi pelayaran yang selama ini dikeluhkan yakni tentang adanya tumpang tindih kewenangan di
dalam penegakan hukum di laut.

Merut dia, dengan jumlah kapal niaga nasional yang mencapai 27.567 unit yang dioperasikan oleh sekitar 3.612 perusahaan, baik
SIUPAL maupun SIOPSUS,
masalah penegakan hukum di laut dalam rangka memberikan rasa aman kepada kegiatan angkutan
laut menjadi tantangan Pemerintah untuk mewujudkannya.

Pihaknya sejauh ini telah
melakukan analisa mengenai
masalah yang terjadi di dalam proses penegakan hukum di laut dan menemukan sejumlah masalah antara lain adanya tumpang tindih kewenangan di dalam pemeriksaan
/penyidikan serta banyaknya
instansi yang terlibat dalam proses pemeriksaan.

Saat ini, setidaknya terdapat 13 Undang-Undang yang memberikan otorisasi terhadap kegiatan penegakan hukum di laut dengan
melibatkan 13 kelembagaan.

“Sejak awal kami mengharapkan Omnibus Law menyasar masalah ini karena penyederhanaan penegakan hukum di laut sangaturgent,” ujarnya.

Dia menjelaskan masalah tumpang tindih kewenangan di dalam penegakan hukum di laut telah dibahas dalam Rapat Umum Anggota (RUA) INSA tahun 2019.

Dalam rapat tersebut, para anggota Indonesian National Shipowners’ Association menyepakatinya menjadi program kerja dan mendorong penyelesaiannya melalui RUU  Omnibus Law.

Namun, hingga RUU Cipta Kerja disahkan, masalah penegakan hukum di laut tidak masuk di dalamnya.

Sementara itu, Koordinator
Indonesian Cabotage Advocation Forum ( INCAFO) Fakultas Teknik Universitas Indonesia Idris Sikumbang menilai UU Cipta Kerja telah memperlemah semangat azas cabotage yang merupakan modal dan kunci utama bagi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Pelemahan itu terjadi setelah adanya pasal 14-A, pasal tambahan yang esensinya sangat tidak sejalan dengan azas cabotage, termasuk
dengan judulnya yakni untuk
membuka lapangan kerja bagi
bangsa Indonesia. Sebab, pasal tersebut justru memberikan lapangan pekerjaan bagi asing.

Oleh karena itu, katanya, INCAFO menyerukan kepada Pemerintah untuk memperbaiki RUU Cipta Kerja dengan cara menghapus pasal 14-A di dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. (hpr)