Bagaikan Tawon Tanpa Sengat

Loading

SELAMAT kepada Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji yang telah dilantik menjadi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) meneruskan tugas Alm Dr. Artidjo Alkostar yang meninggal dunia dua bulan lalu.

Tidak ada yang meragukan integritas, loyalitas dan kemampuan Prof. Indriyanto Seno Adji di bidang hukum dan penegakan hukum, termasuk apa dan mengapa KPK itu sendiri.

Kehadiran Prof. Indriyanto dianggap tepat mengingat KPK belakangan ini seolah telah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi melihat kinerja dan produknya.

KPK selama ini dihormati dengan kewenangannya yang cukup ampuh dan “mematikan” para koruptor yaitu adanya kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan tidak adanya kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3).

OTT sebagai “sengat” mematikan tidak lagi maksimal sebab harus ada ijin daei Dewan Pengawas sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas U No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.

Dapat dibayangkan kalau Polisi mau menangkap maling harus minta ijin dulu dari atasannya, malingnya kabur.

Undang-undang tesebut juga, telah memberikan kewajiban kepada KPK untuk mengeluarkan SP-3 untuk kepastian hukum dan keadilan yang sebelumnya tidak ada.

Selama ini OTT bagi pelaku korupsi merupakan “sengat” yang mematikan tetapi sekaligus memberi “madu” bagi masyarakat anti korupsi.

Dengan adanya kewenangan mengeluarkan SP-3, KPK memberikannya kepada Sjamsul Nursalim dengan alasan bahwa Mahkamah Agung membebaskan Syarifuddin Tumenggung dalam perkara yang sama, pada hal posisi keduanya adalah berbeda.

Syarifuddin Tumenggung sebagai pejabat negara sedang Sjamsul Nursaling dan istrinya adalah swasta yang memperoleh manfaat dari kerugian negara yang timbul, dan Syarifuddin Tumenggung sendiri menurut Putusan MA tersebut terbukti berbuat, namun bukan tindak pidana.

KPK seharusnya berupaya mengembalikan kerugian negara tersebut, tidak lantas menyerah membiarkan keuangan negara itu menguap.

Jadi kedua “sengat” KPK tersebut OTT dan tidak boleh mengeluarkan SP-3 sangat memperkuat posisi KPK sekaligus menguji kredibilitasnya, tentu sepanjang tidak dipermainkan.

Tentang OTT (penindakan), belakangan dianggap “tidak akan arif” sebagaimana dikemukakan Menkomarinvest Luhut Binsar Pandjaitan ketika Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK Tahun 2021-2022 di gedung KPK 13/4 2021 lalu.

Luhut menyebutkan, KPK adalah lembaga super sakti menurunkan angka korupsi apabila menjalankan perannya dengan tepat.

Ia menyebutkan seharusnya KPK memperbanyak pencegahan di samping menjalankan tugasnya di bidang penindakan.

“KPK ini super sakti. Jadi sebenarnya kalau KPK bisa memainkan peran dengan pas, pencegahannya akan banyak, akan bisa menurunkan korupsi.

Tapi kalau hanya sekedar penindakan terus tanpa pencegahan saya pikir juga tidak akan arif” {Kompas.com 13/4 2021).

Luhut berharap agar KPK tidak membiarkan seseorang berbuat salah kecuali bila telah diingatkan maka penindakan bisa diterapkan.

Adalah bijaksana pendapat Menkomarinvest tersebut, tetapi KPK kehilangan sengat sekaligus fungsi KPK telah bergeser dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, pada hal itu adalah tugas pimpinan instansi dan Insipektur Jenderal.

Lagipula para pejabat itu telah disumpah untuk jujur dan setia melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar.

Dalam rangka “pencegahan” itulah dasar dugaan adanya “pembinaan komunikasi” antara salah seorang Komisioner KPK dengan terduga pelaku tindak pidana korupsi (sekarang sudah Tersangka) Walikota Tanjung Balai, Sumatera Utara, sebagaimana diungkapkan Boyman Saiman, Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).

“Jalinan komunikasi” Komisioner dalam rangka pencegahan dengan anggota masyarakat tidak melanggar Peraturan Dewan Pengawas No. 2 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Sebab yang dilarang adalah berkomunikasi dengan tersangka, terdakwa, terpidana (pasal 4 ayat (2) a.

Hadirnya Prof. Indriyanto Seno Adji akan membawa darah segar ke KPK yang belakangan ini seolah tidak berwibawa bahkan kehilangan “sengat”.

Sungguh sangat menyedihkan dengan ditetapkannya seorang Penyidik yang menjanjikan akan menghentikan “penyidikan” atas dugaan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan Walikota Tanjung Balai dengan menerima imbalan melalui transfer sebanyak 59 kali dengan jumlah Rp. 1,3 miliar serta dari orang lain lagi.

Luar biasa, kok bisa, apakah bermain sendiri atau justru ada kaitannya dengan dugaan Boyman Saiman adanya “jalinan komunikasi” antara Walikota Tanjung Balai dengan Komisioner KPK?

Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK harus cepat bertindak sebab harus adil kepada semua insan KPK, ingat seorang pengawal telah dipecat dengan tidak hormat, hanya dengan menerima Rp. 300.000,– dan menerima tiga dus pempek serta meminjam uang Rp. 800.000,–

Mata masyarakat tertuju tidak hanya kepada Dewas dan Pimpinan KPK, tetapi juga kepada DPR, karena menurut Ketua KPK Firli Bahuri, M. Syahrial dan penyidik KPK dipertemukan Wakil Ketua DPR di kediamannya.

Apakah itu juga dalam rangka pencegahan, DPR dan partai politik harus menjelaskannya. Sebelum Walikota, M. Syahrial adalah anggota partai DAN DPRD, namun maju calon Walikota dari jalur perseorangan.

Harus diapresiasi upaya Boymin Saiman dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi, Di sisi lain lebih penting menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Dewas KPK, Pimpinan KPK, DPR RI serta partai politik.

Untuk itu jangan berpura-pura tetapi harus serius menyelesaikannya, sebab kasus Walikota Tanjung Balai ini menusuk “jantung” pemberantasan korupsi di negara ini.

Dengan masuknya yang amat sangat terpelajar Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji ke Dewas kiranya dapat memberikan evaluasi terhadap Undang-Undang KPK yang baru ini terutama kewenangan yang tidak dimiliki Dewan Pengawas serta mengevaluasi kinerja KPK, sebab semakin hari KPK bagaikan tawon tanpa sengat. (Bch)