Jaksa Agung: Penerapan Uang Pengganti untuk Efek Jera Bagi Pelaku Korupsi

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin menegaskan penerapan uang pengganti sebagai pidana tambahan merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi atau koruptor

Menurut Jaksa Agung hal tersebut telah selaras dengan ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Piagam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yaitu negara wajib mengambil sepanjang dimungkinkan dalam sistem hukum nasionalnya.

“Atau tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan perampasan hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan menurut konvensi ini atau kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan itu,” kata Jaksa Agung dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidsus) di Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Jaksa Agung sebelumnya mengapresiasi tema pada FGD kali ini yaitu “Optimalisasi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Rangka Pemulihan Dampak Tindak Pidana Korupsi”.

“Ini menunjukkan adanya cerminan sense of crisis dari bidang Tindak Pidana Khusus dalam menangani permasalahan korupsi. Apalagi tantangan penanganan korupsi kian meningkat dengan adanya pengaruh globalisasi yang membuat perkembangan kejahatan rasuah menjadi semakin kompleks,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, jajaran Pidsus dituntut harus mampu membuat suatu langkah taktis dan strategis guna memberikan deterrent effect bagi pelaku kejahatan, “Terutama guna mencari dan menemukan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak dapat dijangkau melalui instrumen hukum saat ini,” ujar mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.

Dia menyampaikan juga dalam upaya memulihkan kerugian negara aparat penegak hukum telah dibekali instrumen penyitaan sebagaimana diatur pasal 39 KUHAP untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Tak hanya itu, katanya lagi, berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, mengatur untuk dilakukan penyitaan harta benda terpidana oleh jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti atau sita eksekusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Incracht).

“Sedangkan penyitaan pada tahap penyidikan maupun penuntutan hanya dapat dilakukan terhadap corpus delicti dan instrumental delicti,” ujar Jaksa Agung.

Masalahnya, kata dia,  penyidik maupun penuntut umm ketika melakukan penyitaan harus mampu membuktikan terdapat suatu hubungan kausal antara benda yang disita dengan perbuatan serta akibat perbuatan dari pelaku tindak pidana.

                                                                                                   Harus Dikaji Kembali

Dibagian lain Jaksa Agung mengatakan di tengah derasnya praktik-praktik korupsi perlu renungan satu hal mendasar yaitu terkait hakikat keberadaan unsur merugikan perekonomian negara sebagai salah satu ekses dari korupsi.

“Adapun terkait unsur perekonomian negara, tidak dapat dimaknai secara parsial dan bersifat alternatif. Karena kerugian perekonomian negara harus dipicu suatu tindakan nyata yang mengakibatkan dampak signifikan terhadap negara dan masyarakat,” ujarnya.

Masalahnya, tutur dia, penjelasan Undang-Undang Pemberantasan korupsi hanya menggambarkan makna dari perekonomian negara secara luas. “Sehingga saat ini definisi tersebut masih berupa konsep luas (broad concept) dan tentunya tidak aplikatif sebagai instrumen pemidanaan mengingat penormaan dalam hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus jelas (lex certa), serta harus dimaknai tegas tanpa adanya analogi (lex stricta),” ujarnya.

Oleh karena itu menurutnya  perumusan definisi kerugian perekonomian negara seyogyanya harus dapat diatur secara khusus dalam bentuk regulasi sehingga terciptanya kepastian hukum.

“Sehingga membuka peluang baik bagi legislator maupun aparat penegak hukum untuk mengkaji kembali eksistensi dari Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai muatan krusial di dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata dia.

Hal tersebut, tuturnya, menjadi penting sebagai anasir pembuktian penuntut umum, apakah pembuktian merugikan perekonomian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 ditentukan secara mandiri, ataukah unsur tersebut baru ditentukan setelah adanya nominal kerugian negara.

“Namun perlu diingat dalam praktiknya, tidak mungkin ada kerugian perekonomian negara tanpa adanya kerugian keuangan negara. Penerapan atau pembuktian unsur perekonomian negara adalah adalah langkah progresif penegakan hukum dalam hal ini yaitu Kejaksaan,” ujar Jaksa Agung.(muj)