JAKARTA (IndependensI.com) – Virus radikalisme dapat menjangkiti siapa saja tanpa memandang batasan usia, bahkan anak usia dini sekalipun dapat terjangkit virus radikalisme. Guru dan orang tua dinilai sebagai pintu masuk paham negatif tersebut ke anak-anak. Karena itu calon guru dan calon pengantin harus diberikan bimbingan anti-radikalisme.
“Dalam kajian kami memang ada beberapa pintu masuk, kenapa anak terinfiltrasi, satu adalah faktor guru, dalam konteks Indonesia guru itu bukan hanya sumber nilai bagi anak tetapi di pihak lain menjadi referensi dalam semua hal, termasuk juga wawasan keagamaan, wawasan kebangsaan dan lain sebagainya,” ungkap Ketua KPAI Pusat, Dr Susanto, MA di Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Lebih lanjut Susanto menguraikan bahwa ketika seorang guru telah terinfiltrasi oleh radikalisme maka akan sangat berbahaya, karena guru akan dimanfaatkan oleh jaringan kelompok radikal terorisme sebagai pintu masuk kepada anak.
Faktor kedua dan yang tidak boleh disepelekan masuknya radikalisme melalui pintu orang tua dan pengasuh. Infiltrasi radikalisme melalui pengasuh tidak mudah untuk dideteksi sehingga pelaku penyebar paham negatif itu banyak memanfaatkan orang tua untuk menulari anak-anaknya. Berbeda bila melalui oknum guru yang lebih mudah dideteksi dengan sistem dan mekanisme pencegahan seperti yang telah dijalankan baik oleh Kemendikbud maupun BNPT.
Faktor ketiga penyebaran melalui dunia siber. Saat ini kemajuan informasi teknologi menjadi kebutuhan yang tidak bisa dibendung lagi. Tapi di sisi lain, dunia siber yang tanpa batas ini juga sangat rentan menjadi pintu masuk jaringan kelompok radikal teroris. Bahkan dari beberapa data yang ada, Indonesia merupakan negara Asia kedua setelah Cina sebagai pengguna internet terbesar, terutama generasi milinealnya.
Faktor melalui jaringan, dimana kelompok atau orang yang telah menajdi anggota kelompok radikal terorisme akan bergerilnya dengan berbagai macam cara untuk merekrut calon–calon pengantin untuk melakukan teror. Sementara faktor lainnya melalui buku pelajaran.
“Kalau ingin mencegah radikalisme secara komprehensif harus melalui lima pintu itu. Sekolah harus diselesaikan mulai jenjang PAUD sampai perguruan tinggi. Kami juga melakukan riset di perguruan tinggi ternyata orang-orang yang terinfiltrasi radikalisme itu orang-orang yang masuk 10 besar cerdas, dari latar belakang pendidikan yang favorit,” ungkap Susanto.
Sepanjang 2019, lanjut Susanto, beberapa kasus gerakan radikalisme telah terdeteksi oleh pihak keamanan. Bahkan masyarakat yang gerah dengan gerakan tersebut tidak tinggal diam ketika menemukan adanya indikasi gerakan radikalisme, seperti yang terjadi pada perayaan karnaval 17 Agustus di Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Susanto mengatakan, meski setelah dilakukan profiling, karnaval anak TK yang menggunakan cadar dan memegang senjata mainan itu, tidak ditemukan indikasi jaringan radikalisme. Namun KPAI dan pihak kepolisian sepaham bahwa bagaimanapun pun kegiatan dengan menggunakan simbol-simbol radikalisme harus dihindari. Ia khawatir meskipun kegiatan ini tidak di sengaja, namun bisa menimbulkan persepsi pembenaran dan bisa menjadi pintu masuk radikalisme dan juga bisa menjadi lampu merah bagi dunia pendidikan.
“Maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) harus duduk bareng untuk menyelesaikan hal-hal yang seperti ini. Konteks pemahaman agama saya kira domain Kementerian Agama, tetapi regulasi satuan pendidikan dibawah Kemendibud,” ujar Wakil Ketua Lembaga Ma’arif NU tersebut.
Susanto menegaskan dalam kasus tersebut, tugas dari KPAI berdasarkan Undang-Undang, domainnya pengawasan, sehingga dalam konteks pengawasan memaksimalkan agar eksponen penyelengara negara termasuk Kemendkbud, Kemenag, Dinas Pendidikan dan Kantor Kemenag di daerah agar memastikan rekruitmen tenaga pendidikan memang harus bersih dari ilfiltrasi ideologi radikal terorisme.
“Kalau dulu prasyarat jadi guru ada kompentensi personal, kompetensi professional dan juga kompetensi sosial sampai sekarang memang prasyarakat itu ada. Perlu adanya penekanan bahwa jika ada guru yang terindikasi radikalisme, ya jangan di rekrut. Kalau dia PNS perlu dilakukan mekanisme internal, baik disatuan pendidikan maupun level kepegawaian,” ungkapnya
Begitu juga calon pengantin. Menurutnya ini penting karena bila calon orang tua memiliki pemahaman yang benar tentang bahaya radikalisme, tentu mereka akan berusaha mendidik buah hatinya agar tidak terjangkit virus ‘mematikan’ tersebut.
“Pendidikan calon pengantin harus dikuatkan, termasuk kontra-radikalisme melalui bimbingan calon-calon pengantin. Terkait dengan perlindungan anak, pengasuhan yang ramah anak. Juga bagi orang tua harus diberikan pendidikan agar yang bersangkutan kokoh cara pandangnya, baik dalam level keagamaan maupun pada level isu-isu kebangsaan sehingga mama-mama muda ini tidak terinfiltrasi radikalisme,” pungkasnya.