Muhaimin Iskandar: Dialog Kemenag dengan Mubaligh Penting Demi NKRI

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Wakil Ketua MPR RI Muhaimin Iskandar menilai diperlukan adanya dialog antara Kementerian Agama dengan para mubaligh agar para penceramah tetap konsisten menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kementerian Agama perlu mengadakan dialog dengan memanggil para mubaligh agar para penceramah tercerahkan dan tetap konsisten menjaga NKRI,” kata Muhaimin usai dilantik menjadi Ketua Dewan Pembina Federasi Beladiri Profesional (FBPro) Indonesia di Jakarta, Minggu (20/5/2018).

Dia mengatakan, langkah itu agar tidak ada ceramah yang melenceng dari dasar-dasar negara. Kalau ada indikasi materi ceramah yang disampaikan seorang mubaligh maka yang bersangkutan harus dipanggil untuk dimintai penjelasannya.

“Kalau perlu siapa yang melenceng dengan NKRI kita panggil dan berdebat, kita lihat siapa yang menang, itu baru adil,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar

Muhaimin yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan daftar mubaligh yang dibuat Kementerian Agama bisa menjadi referensi bagi masyarakat.

Namun dia mengingatkan kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan pembelahan di masyarakat. Karena itu lebih baik Kemenag membuat diskusi publik dengan para mubaligh untuk setia kepada NKRI.

“Namun Menteri Agama punya kewenangan yang harus kita hormati, itu rekomendasi positif sebagai kontribusi,” katanya.

Menurut dia, terkait daftar 200 nama mubaligh yang dibuat Kemenag itu merupakan keinginan Menteri Agama. Dia mencontohkan kalau dirinya menjadi Menteri Agama bisa saja mengeluarkan daftar 600 nama mubaligh. “Itu selera Menteri Agama, saya sendiri bisa mengeluarkan 600 mubaligh yang direkomendasikan versi saya,” katanya.

Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) telah merilis daftar 200 nama mubaligh yang memenuhi tiga kriteria. Tiga kriteria tersebut adalah mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. (antara/kbn)


KOMENTAR