Ilustrasi. Pilkada 2018. (Ist)

Memilih Pemimpin yang Rendah Hati

Loading

KUPANG (Independensi.com) – Tinggal menghitung jam, gong pelaksanaan pemilihan kepala daerah di 17 provinsi dan 154 kabupaten dan kota se-Indonesia, segera ditabuhkan.

Pada Rabu, 27 Juni 2018, rakyat pemilih yang menyebar di 17 provinsi dan 154 kabupaten dan kota se-Indonesia, akan berdatangan ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan hak politiknya, siapakah calon pemimpin yang akan dipilih berdasarkan hati nurani? Memilih seorang pemimpin dengan menggunakan logika, sering bertolak belakang dengan kemauan hati nurani, karena faktor utama dari output yang dihasilkan logika didasarkan pada variabel yang sifatnya pasti ataupun kelaziman.

Beberapa orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, mungkin tidak akan “memercayai” keberadaan Tuhan, misalnya, seorang ilmuwan fisika yang terbiasa mengalami proses pembuktian dari setiap kejadian. Pengalaman yang mereka alami lebih sering mengutamakan fakta yang didasarkan pada teori logis yang dapat diterima akal sehat oleh orang-orang pada umumnya.

Orang yang lebih mengutamakan untuk memilih proses dengan logika biasanya menghiraukan “emotional feeling”. Misalnya, seseorang yang pada awalnya simpati akan berubah menjadi antipati apabila mengetahui bahwa kehidupan seorang pengemis ternyata tidak benar-benar miskin.

Menggunakan proses perasaan juga menembus dimensi akal pikiran manusia yang didasari pada rasa empati. Ikut merasakan suatu hal yang dirasakan oleh orang lain kendati tidak pernah mengalami hal tersebut.

Sedangkan output dari hati merupakan sebuah pertimbangan yang prosesnya melibatkan dua faktor, yakni variabel dan pengalaman. Dan, dalam kaitan dengan memilih seorang pemimpin dalam ajang pemilihan kepala daerah, tentu membutuhkan banyak variabel dalam mengukurnya sebelum menjatuhkan pilihan.

Dalam ajang Pilkada 2018 di Nusa Tenggara Timur, rakyat pemilih yang menyebar di pulau-pulau kecil dan besar ini, akan memilih seorang gubernur dan wakilnya, serta 10 pasangan bupati dan wakil bupati yang ada di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Ende, Sikka dan Nagekeo.

Dalam kaitan dengan memilih sosok seorang pemimpin sejati bagi NTT, salah seorang tokoh masyarakat di Kupang, Ferdi Tanoni berpendapat pemimpin yang dikehendaki rakyat NTT tidak hanya sekadar rendah hati, tetapi bagaimana menggunakan hatinya untuk mentransformasikan kekuasaannya kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

“Siapa pun yang akan terpilih menjadi gubernur, haruslah memimpin daerah ini dengan hati, karena kekuasaan sebagai gubernur NTT yang diterima merupakan anugerah dari Tuhan pencipta langit dan bumi untuk mensejahterahkan rakyat daerah ini,” katanya.

Dari empat pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 yang ada, tentu ada pasangan calon yang rendah hati dan tidak sombong yang bisa dijadikan sebagai panutan, seperti pasangan Esthon L Foenay-Christian Rotok, Marianus Sae-Emelia Nomleni, Benny Harman-Benny Litelnoni dan Viktor Laiskodat-Yosep Nae Soi.

Para kandidat tampaknya memiliki visi dan misi yang sama, yakni terus berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat berbagai program kerjanya, namun hal yang paling mendasar dijadikan prioritas utama dalam pembangunan adalah soal regional, nasional dan internasional untuk mempercepat perubahan pembangunan di NTT.

“Modernisasi sektor pertanian dan sub sektornya peternakan, perikanan, kehutanan serta pariwisata harus segera dilakukan, karena NTT sangat potensial. Ini persoalan regional yang selama ini belum dilakukan secara serius oleh pemerintah daerah ini,” kata Tanoni.

NTT berada pada posisi terluar atau pagarnya NKRI di selatan Indonesia Timur, berada di tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan dua diantaranya meliputi perairan NTT yakni, ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok.

Kemudian ALKI III melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu. “Jika melihat potensi geografisnya maka NTT memegang peran penting dalam masalah pertahanan dan keamanan negara,” katanya.

Atas dasar itu, masalah batas perairan RI-Australia-Timor Leste harus segera dibatalkan dan dirundingkan kembali, guna menghentikan kerakusan Australia yang secara sepihak telah mencaplok wilayah Laut Timor seluas 85 persen sejak tahun 1972 dan menguras kekayaan alam, terutama minyak dan gas bumi yang berskala dunia ini untuk kesejahteraan bangsa Australia.

“Di sini kita butuh pemimpin yang rendah hati dan memiliki hati yang tulus untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat daerah ini. Sebab, apa pun alasannya, NTT harus dipersiapkan menghadapi era perdagangan bebas APEC yang akan dimulai pada 2020, karena berada di poros Asia Pasifik,” katanya.

Pemimpin rendah hati Untuk memilih tipe pemimpin yang rendah hati, memang rada-rada sulit, namun ada pemimpin dunia yang bisa dijadikan contoh seperti Jose Mujica, Presiden Uruguay (87). Penampilannya, menurut beberapa sumber, tidak ubahnya seperti seorang petani.

Jose Mujica tidak pernah tinggal di istana kepresidenan, dan tidak pernah dikawal kemana pun ia pergi. Dia mengendarai mobil VW Beetle miliknya tanpa sopir. Sebanyak 90 persen dari Rp146,4 juta atau sekitar 12.000 dolar AS gajinya setiap bulan, dsumbangkan untuk organisasi yang menyediakan rumah bagi warga miskin dan membiayai gerakan partainya.

Sejak menjabat sebagau Presiden Uruguay pada 1 Maret 2010, Mujica selalu tinggal di rumah pertanian di dekat Montevideo. Rumahnya sangat sederhana dan hanya memiliki satu kamar. Sehari-hari Mujica bersama istrinya, Lucia Topolansky, menanam bunga krisan untuk dijual.

Sejak menikah pada 2005, Mujica tidak dikaruniai anak. Karena itu, dia tidak membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya dan istri yang sama-sama suka hidup sahaja.

“Orang miskin bukanlah seseorang yang memiliki sedikit (harta), tapi orang yang selalu membutuhkan lebih, lebih, dan lebih lagi. Saya tidak hidup dalam kemiskinan. Saya hidup dalam kesederhanaan. Hanya sedikit yang saya butuhkan untuk hidup,” ujar pemimpin negara yang memiliki nama asli Jose Alberto Mujica Cordano tersebut.

Potret hidup Jose Mujica mencerminkan bahwa kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam manajemen, karena dia adalah sosok seorang pemimpin yang rendah hati, bijak, memposisikan dirinya dengan orang lain sama, merasa tidak lebih baik, tidak lebih mahir, tidak lebih pintar, tidak juga lebih mulia. Menjadi rendah hati tidak berarti menjadi orang tolol.

Di Indonesia, sosok tersebut mungkin cocok dikenakan pada pribadi mantan Presiden BJ Habibie. Dengan kejeninusannya, mahasiswa teknik mesin ITB yang yang melanjutkan studi S-3 di Aachen-Jerman itu, berhasil membuat pesawat R80 memiliki kapasitas lebih besar (80-90 kursi) dibandingkan dengan N250 yang hanya memiliki kapasitas 50-60 kursi.

Pemimpin yang rendah hati akan menerima masukan dari orang lain dalam mengambil keputusan terbaik untuk kepentingan tim. Pengambilan keputusan itu biasanya dilakukan melalui tahap diskusi, dan orang akan lebih senang bekerja kepada pemimpin yang mau menghargai pendapat mereka daripada yang mangabaikan pendapatnya.

Ketika seorang pemimpin yang rendah hati melakukan kesalahan, ia akan bersedia untuk mengakui kesalahan tersebut. Apabila pemimpin mampu memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat, ia akan mendapatkan kepercayaan lebih dari anggota tim. Karena itu, pilihlah orang yang baik, melatih mereka, kemudian keluar dari jalan dan biarkan mereka melakukan pekerjaannya.

Sikap pemimpin semacam ini adalah kerendahan hati untuk mengakui bahwa ia bukanlah satu-satunya orang yang terbaik, bahkan banyak orang yang lebih baik di peran tertentu lebih dari dirinya. Karena itu, pilihan pemimpin NTT yang rendah hati. Selamat mencoblos.