Peran Media dalam Literasi Kinerja BUMN

Loading

Oleh : Edy Mulyadi

IndependensI.com – Banyak orang beranggapan jadi petinggi BUMN adalah anugrah. Gaji tinggi, fasilitas berlimpah, bonus-bonus dan tantiem selangit. Seabreg karunia tadi kian terasa legit, karena, konon, semuanya hampir pasti diperoleh walau kinerja manajemen pas-pasan, bahkan di bawah banderol.

Benar begitu? Bisa iya, bisa juga tidak. Pastinya, tidak semua BUMN mampu mengguyur pejabatnya dengan gaji dan fasilitas yang berlimpah-ruah. Faktanya, banyak juga BUMN yang nasibnya hidup segan mati tak mau. Kalau sudah begini, boro-boro mampu menggerojok manajemen dengan pelbagai kenikmatan tadi. Bisa bertahan hidup saja sudah syukur banget.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri ada juga manajemen BUMN yang bermandi kesenangan. Biasanya, ini terjadi karena skala BUMN memang termasuk raksasa dengan keuntungan triliunan rupiah saban tahun. Direksi dan komisaris bank-bank pelat merah bisa dikatakan mengalami nasib seperti ini.

Begitu juga dengan sejumlah BUMN raksasa yang bisnisnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertamina dan PLN barangkali masuk dalam kategori ini. Tapi nanti dulu. Statusnya sebagai BUMN, apalagi yang usahanya menyangkut hajat hidup orang banyak, sering sulit lepas dari politik.

Rezim yang berkuasa sering menggunakan BUMN kategori ini untuk kepentingan politik mereka. Kebijakan satu harga BBM dari Sabang sampai Merauke, misalnya, jelas menebarkan aroma politik yang menyengat. Begitu juga dengan target elektrifikasi seluruh wilayah NKRI hingga 99% pada 2019.

Buah Simalakama

Pada titik ini, posisi manajemen sering ibarat berhadapan dengan buah simalakama. Dimakan bapak mati. Tidak dimakan, ibu mati. Melaksanakan kebijakan BBM satu harga jelas membuat Pertamina kudu merogoh kocek lebih dalam. Maklum, ongkos angkut BBM sampai ke pelosok Indonesia jelas tidak sama dengan di kota-kota besar.

Itulah sebabnya, baru beberapa bulan melaksanakan program ini, neraca Pertamina langsung kebakaran. Pada periode Januari-Februari 2018 saja, Perseroan rugi sebesar Rp3,9 triliun saat rezim ini menerapkan kebijakan BBM satu harga. Padahal, kewajiban ini baru berlangsung ‘seumur jagung’. Angka itu muncul dari banyaknya ongkos yang jadi beban. Antara lain, ongkos operasional, produksi, serta ongkos distribusi program BBM satu harga.

Dengan risiko rugi seperti itu, akankah Pertamina tetap melaksanakan penugasan BBM satu harga? Yang pasti, beberapa waktu lalu beredar kabar satu harga BBM di beberapa daerah terpencil itu hanya berlangsung beberapa waktu. Usai diresmikan dan Presiden Jokowi pulang ke Jakarta, beberapa hari kemudian harga BBM kembali melangit.

Beberapa berita soal ini di antaranya adalah, “Kata Tokoh Papua, Harga BBM Hanya Turun Saat Jokowi Blusukan ke Papua” (https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/17481141/kata-tokoh-papua-harga-bbm-hanya-turun-saat-jokowi-blusukan-ke-papua). Berita lainnya[d01] , “Tokoh Papua Ungkap Harga BBM Masih Tinggi di Papua, Ini Reaksi Pertamina dan Tantangan dari Jokowi” (http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/12/21/tokoh-papua-ungkap-harga-bbm-masih-tinggi-di-papua-ini-reaksi-pertamina-dan-tantangan-dari-jokowi.

Lebih Mengenaskan

Bagaimana dengan PLN? Nasibnya bisa dikatakan lebih mengenaskan ketimbang Pertamina. Banyak pihak langsung mengapresiasi Pertamina saat BUMN itu menjalankan penugasan BBM satu harga. Lalu, ketika mengetahui Pertamina jadi babak-belur karenanya, mereka pun menaruh empati.

Sayangnya hal serupa nyaris tidak terjadi pada PLN. Padahal jauh sebelum Pertamina, PLN sudah melaksanakan tarif listrik satu harga untuk daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T). Mungkin kalau dihitung mundur, hal itu berlangsung sejak 27 Oktober 1945, yaitu saat peralihan produsen setrum itu dari kolonial Jepang kepada bangsa Indonesia. Bisakah orang-orang ini membayangkan, betapa dahsyatnya beban dan kerugian PLN saat mengalirkan listrik di daerah-daerah 3T?

Ini ada salah satu contohnya. Betapa sumringahnya wajah masyarakat Pulau Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungai Selan Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Pasalnya, mereka tidak lagi membutuhkan biaya besar untuk mendapat penerangan sejak masuknya jaringan listrik PLN ke pulau tersebut. Warga yang berjumlah sekitar 70 kepala keluarga (KK) sekarang bisa menikmati listrik dengan hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berkapasitas 2×100 kilo Watt (kW) yang terpasang di dusun mereka, April 2018 silam.

Bayangkan, untuk menerangi rumah sebanyak 70 KK, PLN harus mendatangkan PLTD yang berbahan bakar solar. Bisa dibayangkan betapa repotnya petugas PLN di lapangan mengangkut solar ke dusun terpencil itu. Lalu, bisakah iuran listrik 70 KK yang berprofesi sebagai nelayan tadi menutupi biaya operasi dan produksi listrik di sana?

Cerita itu baru untuk masyarakat pesisir. Bagaimana dengan rakyat di pegunungan? Bisakah dan maukah kita menghitung harga tiap batang tiang listrik yang dipancangkan PLN? Berapa harga per meter kabel yang direntang melintasi lembah dan gunung, melewati pinggir-pinggir hutan hanya untuk menerangi beberapa puluh rumah di pedesaan itu? Berapa investasi dan biaya pokok produksi listrik yang harus ditanggung PLN dengan semua itu?

Dirut PLN Sofyan Basir menyebut, biaya sambung listrik di daerah 3T mencapai 150 kali lipat di banding di Jawa.
Dan tahukah mereka, bahwa penduduk desa itu menikmati harga subsidi yang amat murah. Bukan mustahil pada bulan kedua penduduk langsung menunggak membayar listrik karena memang rakyat di sana teramat miskin.

Terus, kalau begini, sampai kuda tumbuh tanduk pun tidak bakal bisa break event point (BEP) alias balik modal. Di sisi lain, PLN tidak boleh memutus aliran listrik, selamanya. Ya, selamanya demi citra moncer rezim di mata rakyatnya.

Ini baru cerita dua daerah 3T saja. Tahukah anda, bahwa di Indonesia jumlah daerah terluar, terpencil, dan tertinggal ini masih lumayan banyak, 5.000 desa! Kalau menuruti prinsip bisnis normal, tentu hanya manajemen tidak ‘waras saja’ yang mau melaksanakan proyek gila itu. Tapi, begitulah tugas BUMN. Ia harus tampil menjadi bumper demi citra kinclong penguasa.

BUMN dan Makro Ekonomi

Semua tadi baru kisah yang terjadi di dapur BUMN. Secara makro, fungsi BUMN juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka punya peran penting dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan belanja modal atau capital expenditure (Capex) perusahaan pelat merah pada 2018 diperkirakan mencapai Rp550 triliun. Jumlah ini naik 10,6% dibandingkan proyeksi pada tahun lalu yang sebesar Rp497 triliun.

Selain APBN, tingginya Capex dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Itulah sebabnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN terus mendorong agar BUMN meningkatkan belanja modalnya secara berkualitas, agar bisa memberi kontribusi maksimal bagi perekonomian nasional.

Dengan tugas seperti itu, kini tanggung jawab BUMN tidak semata-mata membayar dividen dan pajak. BUMN juga dituntut mengembangkan usahanya sehingga perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih positif.

Di sisi sosial, BUMN juga punya peran penting melalui pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam konteks ini, BUMN diminta mengalokasikan anggaran CSR-nya lebih terarah agar mampu berkontribusi positif terhadap masyarakat program pemberdayaan masyarakat. Alokasi anggaran yang tepat dan efektif akan menghindari CSR hanya untuk memenuhi kewajiban belaka, melainkan juga untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Sayangnya, peran positif BUMN terhadap pembangunan nasional masih terasa kurang terekspos dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan lemahnya kemampuan BUMN dalam menyosialisasikannya kepada publik.

Di sisi lain, media juga tampaknya lebih suka mengangkat isu-isu yang dianggap negatif menyangkut BUMN. Tema-tema korupsi dan pelanggaran atas tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) yang dilakukan petinggi BUMN relatif menempati porsi lebih di media massa. Mungkin hal ini disebabkan kru media masih menganggap bad news is good news. Tapi, setidaknya berilah sedikit perhatian pada soal-soal seperti tadi. Syukur-syukur kalau kalian mau sedikit mengulik beban berat BUMN ketika harus menjalankan perintah demi citra molek penguasa.

Sampai di sini, sebagai sesama jurnalis saya ingin mengimbau kepada teman-teman wartawan, mari kita melebarkan perspektif dalam melihat BUMN. Berita korupsi dan dilabraknya prinsip-prinsip GCG memang seksi. Namun kita juga dituntut bersikap kritis.

Tidak semestinya wartawan hanya menjadi juru kutip pihak-pihak tertentu belaka. Ada mekanisme check and richeck yang harus ditempuh untuk menguji kualitas nara sumber dan kesahihan informasi yang disampaikan. Jika diperlukan, lakukan investigasi. Sebab, bisa jadi orang-orang ini punya agenda lain dengan ‘bahan berita’ yang mereka siapkan.

Sebagai jurnalis, tentu kita paham betul dengan agenda setting dan framing, kan? Kalau sudah begini, tanpa disadari media bisa jadi ‘alat’ pembunuhan karakter sesuai keinginan pihak-pihak tertentu. Gimana? Kita ga mau begitu, kan?

Jakarta, 3 Oktober 2018
Edy Muyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)