Ilustrasi. (Humas Direktorat Jenderal Budidaya KKP)

KKP Pacu Pengembangan Daya Saing Rumput Laut Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kinerja positif subsektor perikanan budidaya selama lima tahun terakhir (2013-2017) memacu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk terus memperkuat pengembangan berbagai komoditas budidaya mulai dari hulu hingga hilir, termasuk tata niaga dan pemasaran.

Salah satu komoditas perikanan budidaya yang menjadi fokus KKP untuk terus dikembangkan adalah rumput laut. Langkah ini diambil guna memastikan rumput laut Indonesia mampu menghadapi berbagai tantangan yang berkembang di masa yang akan datang.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat menghadiri sekaligus membuka acara rapat kerja nasional (Rakernas) Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) di Makassar, Senin (12/3/2018), dalam keterangan persnya kepada Independensi.com.

Kinerja positif tersebut dapat dilihat dari volume produksi rumput laut nasional yang tumbuh rata-rata sebesar 11,8 % per tahun, dimana angka sementara tahun 2017, produksi rumput laut nasional tercatat sebesar 10,8 Juta ton.

Nilai ekspor rumput laut juga mengalami pertumbuhan sebesar 3,09% per tahun. Neraca perdagangan rumput laut Indonesia juga tercatat positif, dengan indeks spesialisasi produk (ISP) lebih tinggi dibanding negara-negara eksportir lainnya.

Kondisi ini menandakan bahwa produk rumput laut memiliki daya saing kompetitif yang tinggi atau Indonesia merupakan negara net eksportir rumput laut.

Namun demikian, Slamet mengingatkan bahwa pengembangan rumput laut masih dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti minimnya diversifikasi produk, persyaratan pasar global, persaingan antar produsen, zonasi dan infrastruktur, serta minimnya investasi berbasis rumput laut.

”Harus kita akui, walaupun Indonesia saat ini menjadi negara net eksportir nomor 1 dunia khusus untuk jenis Eucheuma Cottoni dan Gracilaria, namun faktanya lebih dari 80 % ekspor rumput laut kita masih didominasi oleh bahan baku kering (raw material), artinya nilai tambah ekonomi yang dirasakan masih minim,” jelasnya.

Melihat fakta di atas, Slamet menegaskan kembali komitmen KKP untuk terus mendorong dibangunnya industrialisasi rumput laut nasional, sehingga nilai tambah ekonomi lebih tinggi.

Di hulu, KKP telah melakukan upaya untuk menggenjot produksi yang berkualitas. Upaya tersebut antara lain pengembangan kawasan budidaya rumput laut berbasis klaster, pengembangan kebun bibit rumput laut hasil kultur jaringan, dan pengembangan sistem kebun bibit rumput laut yang memenuhi estetika dan kaidah ramah lingkungan serta telah digunakan secara luas oleh pembudidaya.

”Bibit rumput laut hasil kultur jaringan memiliki performa yang baik, termasuk lebih adaptif dan pertumbuhan yang lebih cepat. Ada enam UPT di Ditjen Perikanan Budidaya yang saat ini didorong menjadi sentra pengembangan kultur jaringan” lanjutnya.

Keenam UPT DJPB tersebut yaitu Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon dan Lombok, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, serta Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo dan Takalar.

Selain itu, KKP saat ini tengah fokus menggarap potensi di kawasan-kawasan terluar dan perbatasan. Sejak tahun 2016, KKP merintis pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT), dimana salah satu fokus pengembangannya yakni budidaya rumput laut, seperti di Kabupaten Sumba Timur dan Rote Ndao Nusa Tenggara Timur.

KKP juga terus mendorong pengembangan sentra-sentra rumput laut di Papua (Kabupaten Fak Fak, Kaimana, Sorong, Biak Numfor dan Kepulauan Yapen), NTB, Maluku, Sulawesi dan daerah-daerah lain yang potensial sebagai sentra pengembangan rumput laut.

“Untuk di timur, pengembangan rumput laut telah dimulai di Kabupaten Fak Fak Papua Barat dimana kedepan seluruhnya akan menggunakan bibit rumput laut cottonii strain Maumere dari hasil kultur jaringan. Bahkan dalam waktu dekat ini Bu Menteri (Susi Pudjiastuti) direncanakan akan melakukan panen raya rumput laut di Fak Fak” info Slamet.

Selain itu, untuk memastikan bahwa rumput laut Indonesia diproduksi dengan ramah lingkungan, dan terjamin keamananya, KKP tengah gencar dalam melakukan sertifikasi CBIB yang didalamnya meliputi aspek traceability, foodsafety, dan sustainability.

Untuk menjamin sektor hulu terhindar dari tumpang tindih kepentingan dan menjamin iklim usaha yang kondusif, Slamet meminta agar pemerintah daerah propinsi untuk segera menyelesaikan Peraturan Daerah terkait Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP3K). Regulasi ini sangat penting, untuk menjamin eksistensi dan keberlanjutan usaha budidaya rumput laut.

Sedangkan dari aspek sistem produksi di hilir, KKP telah berupaya untuk mendorong rumput laut Indonesia mampu berdaya saing dengan menciptakan efesiensi produksi dan jaminan mutu. Oleh karenanya, untuk memutus rantai distribusi pasar yang panjang, pemerintah telah mendorong pembangunan industri pengolahan di sentra-sentra produksi baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta.

Terkait mutu, lanjutnya, KKP mendorong unit pengolahan rumput laut agar memenuhi SNI dan persyaratan ekspor seperti penerapan Cara Pengolahan Ikan yang Baik (Good Manufacturing Practices) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi Standar (Standar Sanitation Operating Procedure).

Faktor distribusi produk rumput laut juga menjadi konsen KKP dengan menggandeng instansi lain.

”Baru-baru ini KKP bersama dengan Kementerian perhubungan telah membahas mengenai optimalisasi tol laut di sektor perikanan, dan sepakat untuk memanfaatkan jalur Pelni, ASDP atau jalur alternatif lainnya yang sedang dirintis untuk mengangkut seluruh komoditas perikanan termasuk rumput laut”tutup Slamet.

Menanggapi pernyataan Slamet, ARLI mengapresiasi langkah KKP untuk serius mengembangkan komoditas rumput laut, hal ini disampaikan ketuanya, Safari Azis. Ia meminta agar KKP dapat memastikan rantai produksi dari hulu hingga hilir kondusif bagi dunia usaha.

“Di Kabupaten Bone, ARLI telah berhasil memfasilitasi anggotanya untuk memanfaatkan rumput laut di kabupaten hasil kerjasama dengan KKP dan pemerintah daerah dan telah berhasil melakukan ekspor perdana pada bulan februari berupa alkali treated gracillaria (ATG) ke China. Kondisi kondusif seperti ini kami harapkan dapat terjadi didaerah lainnya,” ungkap Azis.

Azis juga menambahkan bahwa di era perdagangan bebas ini telah berlaku sistem rantai pasok dan rantai nilai global, termasuk rumput laut Indonesia, oleh karenanya industri hulu hingga hilir memiliki nilai masing-masing. Untuk itu Azis mengingatkan bahwa semangat meningkatkan nilai tambah di sektor hilir harus berdampak juga bagi pembudidaya yang ada di sektor hulu.

Untuk itu Azis berharap, pengembangan sektor hulu benar-benar menjadi perhatian pemerintah untuk menjamin pengembangan di sektor hilir. Diantara langkah pengembangan sektor hulu yaitu melalui ekstensifikasi dan intensifikasi budidaya rumput laut dan hal ini sudah selaras dengan langkah-langkah yang dilakukan KKP. Selanjutnya tinggal memastikan bahwa proses produksi di sektor hulu benar-benar ramah lingkungan untuk menjamin keberkelanjutan budidaya.