JAKARTA (Independensi)-Direktur Institut Sarinah Eva Sundari turut menanggapi polemik terkait pernikahan beda agama yang mencuat belakangan ini.
Eva menyatakan, pelarangan terhadap pernikahan beda agama akan menimbulkan konsekuensi bagi perekonomian warga yang bersangkutan.
Dia mencontohkan kasus serupa tapi tak sama beberapa tahun lalu, yakni pernikahan warga penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang tidak diakui negara, baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
“Ketika perkawinan yang dilakukan teman-teman Sunda Wiwitan itu dianggap tidak sah oleh negara, maka dimensi ekonomi atau kemiskinan yang muncul. Jadi, ketika negara tidak mau mengakui perkawinan warganya, itu memiskinkan rakyat lho,” ujar Eva.
Tidak diakuinya pernikahan warga Sunda Wiwitan maupun penghayat kepercayaan secara umum oleh negara, menurut Eva akan memiskinkan mereka. Akhirnya, anak-anak warga penghayat kepercayaan itu kesulitan mendapatkan Akta Kelahiran.
Dan konsekuensinya, anak-anak mereka tak bisa memperoleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Sehingga, pemiskinan luar biasa terjadi dulu di kalangan warga penghayat kepercayaan,” ujar Eva.
“Seharusnya negara mengakui perkawinan beda agama ini. Karena tidak diakuinya perkawinan beda agama, sama saja menutup akses hak sipil dan ekonomi rakyat,” tambah alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia itu.
Seperti diketahui, polemik pernikahan beda agama mencuat belakangan ini setelah pemohon atas nama Ramos Partege mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Ramos Petege, pemeluk agama Katolik batal menikah dengan perempuan beragama Islam karena perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Akibatnya, hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Ramos Partege juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. (Hiski Darmayana)